Friday 18 October 2013

Penafsiran Ilmiah Al-Quran

Leave a Comment

Al-Quran memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad

Perkembangan Penafsiran Ilmiah:
Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun "semisal" Al-Quran. Tantangan tersebut datang secara bertahap:
a. Seluruh Al-Quran (QS 17:88; 52:34).
b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya (QS 11:13).
c. Satu surah saja (QS 10:38).
d. Lebih kurang semisal satu surah saja (QS 2:23).

Dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al-Quran, dan bukan sebaliknya.

Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w. 1059 - 1111 M) yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim."

Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya. Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku" (QS 26:80).

"Obat" dan "penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.

Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan "kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan.

Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak sepenuhnya, sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya, Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.

Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi jauhari (1870-1940). Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Quran mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."

Di lain sisi, Al-Syathibi (w. 1388) merupakan tokoh yang paling gigih menentang sikap di atas secara berlebih-lebihan pula, sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud tersebut," dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Quran, harus membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Quran. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya."

Namun, apa yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut, juga sukar untuk dipahami, karena kita berkewajiban memahami Al-Quran sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw.

Di samping itu, bagaimana kita dapat melaksanakan maksud ayat seperti "Apakah mereka tak berpikir", dan sebagainya, yang biasanya menjadi fashilah (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang biologi, astronomi, dan lainnya, apabila kita tidak memahaminya melalui bantuan ilmu-ilmu tersebut yang jelas belum dikenal dan berkembang dengan pesat sebagaimana yang kita alami dewasa ini?

Pendapat kedua tokoh yang memiliki reputasi tinggi di bidang ilmu keislaman dan yang bertolak belakang itu, masing-masing mempunyai pendukung sejak masa mereka hingga dewasa ini, walaupun pendapat yang dipelopori oleh Al-Ghazali lebih tersebar akibat faktor-faktor ekstern, baik menyangkut konflik yang terjadi di Eropa pada abad kedelapanbelas, antara pemuka Kristen dan ilmuwan-ilmuwan, maupun kondisi sosial umat Islam serta pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan.

Untuk mendudukkan persoalan di atas pada proporsinya yang benar, perlu kiranya ditinjau korelasi antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan.

Korelasi antara Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan
Hemat penulis, membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

Sejarah membuktikan bahwa Galileo --ketika mengungkapkan penemuan ilmiahnya-- tidak mendapat tantangan dari satu lembaga ilmiah, kecuali dari masyarakat di mana ia hidup. Mereka memberikan tantangan kepadanya atas dasar kepercayaan agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya menjadi korban penemuannya sendiri.

Dalam Al-Quran ditemukan kata-kata "ilmu" --dalam berbagai bentuknya-- yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara lain:
Subjektivitas:
(a) Suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79);
(b) Taqlid atau mengikuti tanpa alasan (baca antara lain, QS 33:67; 2:170).

Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca, antara lain QS 21:37).
Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain QS 7:146).

Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain:
Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca, antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca, antara lain, QS 10:39).
Jangan menilai sesuatu karena faktor eksternal apa pun --walaupun dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan seperti Muhammad saw.

Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. "Tiada yang lebih baik dituntun dari suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berpikir, .. serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di mana saja ia kehendaki." Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan.

Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut sebagiannya telah diketahui oleh masyarakat Arab ketika itu. Namun, apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya.

Di lain segi, paling sedikit ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Al-Quran tentang alam raya dan fenomenanya:
Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Tuhan. Dari perintah ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).

Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan menghendakinya. Dari sini, tersirat bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang adanya ketepatan-ketepatan yang bersifat umum dan mengikat yang mengatur alam raya ini (hukum-hukum alam).

Redaksi yang digunakan oleh Al-Quran dalam uraiannya tentang alam raya dan fenomenanya itu, bersifat singkat, teliti dan padat, sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing."

Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita perlu menggarisbawahi beberapa prinsip pokok:
a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut.
b. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus untuk orang-orang Arab ummiyin yang hidup pada masa Rasul saw., tidak pula untuk generasi abad keduapuluh ini, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran dan dituntut untuk menggunakan akalnya.
c. Berpikir secara modern, sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat pengetahuan seseorang; tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif90 atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli di bidang ini.
Nah, kaitan prinsip ini dengan penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat penemuan ilmiah.

1. Bahasa
Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.

Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya, menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu referensi dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat Al-Quran. Bila apa yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Al-Quran dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada masa kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS 96:2) tidak mutlak dipahami dengan "darah yang membeku", karena arti tersebut bukan satu-satunya arti yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa pra-Islam atau masa turunnya Al-Quran. Masih ada lagi arti-arti lain seperti "sesuatu yang bergantung atau berdempet".

Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi, seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika membicarakan proses kejadian manusia, tidak dapat ditolak.
Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan Al-Quran itu.

Metode ini, antara lain, ditempuh oleh Hanafi Ahmad dalam tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya' untuk matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti bahwa sumber sinar matahari adalah dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan bersumber dari sesuatu selain dari dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari penelitian terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang --dalam berbagai bentuknya-- sebanyak enam kali dan nur sebanyak lebih kurang 50 kali.

Disamping kedua metode di atas, perlu pula kiranya dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu kata. Karena disadari bahwa ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak kita adalah bentuk material atau yang berhubungan dengan materinya. Namun, dilain segi, bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.

Sebagai contoh, kata "lampu" bagi masyarakat tertentu berarti suatu alat penerang yang terdiri dari wadah yang berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Namun apa yang tergambar dalam benak kita dewasa ini tentang gambaran material tersebut telah berubah. Yang tergambar dalam benak kita kini adalah listrik.

Kita tidak dapat membenarkan seseorang menafsirkan arti sayyarah (QS 12:10 dan 19; dan 5: 96) dengan mobil. Walaupun demikian, itulah terjemahannya yang secara umum dipakai dewasa ini, karena pada masa lalu, mobil --dalam pengertian kita sekarang-- belum ada. Namun, kita dapat membenarkan penafsiran zarrah dalam ayat-ayat Al-Quran, dengan atom karena kata ini menurut Al-Biqa'iy (885 H/ 1480 M), "digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang amat kecil atau ketiadaan."

Selain aspek yang dikemukakan di atas, aspek-aspek kebahasaan lainnya pun perlu mendapat perhatian. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya, ketika menafsirkan surah Al-'Ankabut, ayat 41, mengatakan bahwa yang membuat sarang laba-laba adalah betina laba-laba bukan jantannya. Karena, katanya, ayat tersebut menggunakan kata kerja mu'annats "ittakhadzat" bukan "ittakhadza"

Menurutnya, Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa tali-temali yang dihasilkan oleh laba-laba dalam membuat sarangnya bukanlah sesuatu yang rapuh, karena penelitian ilmiah membuktikan bahwa tali-temali tersebut, dalam kadar yang sama, lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam.

Prof. Dr. 'Aisyah Abdurrahman binti Al-Syathi', Guru Besar Studi Ilmu-ilmu Al-Quran Universitas Qarawiyin di Maroko, serta Sastra Bahasa Arab di Universitas Kairo, menanggapi pendapat di atas. Ia menyatakan: "Para pelajar bahasa Arab tingkat pertama mengetahui bahwa bahasa ini menggunakan bentuk mu'annats (feminin) untuk kata al-ankabut (laba-laba), sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk mufrad (tunggal) dari kata-kata: namlah, nihlah, dan dawdah (semut, lebah, dan ulat)".

Dengan demikian, menurutnya, bentuk mu'annats untuk kata al-'ankabut dalam ayat ini adalah atas pertimbangan bahasa dan tak ada hubungannya sedikit pun dengan biologi.97 Demikian pula, menetapkan ayat di atas dengan berpendapat bahwa sarang laba-laba lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam, akan mengakibatkan runtuhnya ungkapan yang dikenal oleh bahasa Al-Quran, bagi sesuatu Yang sangat rapuh yakni sarang laba-laba, sehingga jika penafsiran yang diungkapkan itu benar, maka akan kelirulah redaksi Al-Quran dan kandungannya yang mengatakan bahwa (serapuh-rapuh rumah tempat berlindung adalah sarang laba laba)."

Dari sini dapat dipahami mengapa ulama-ulama Tafsir berkesimpulan bahwa "tidak wajar kita beralih dari pengertian hakiki suatu kata kepada pengertian kiasan (majazi), kecuali bila terdapat tanda-tanda yang jelas yang menghalangi pengertian hakiki tersebut".

Dengan demikian, kita dapat mentoleransi (walaupun tidak sependapat dengan) para ahli yang memahami ayat 37 surah Fushshilat, atau ayat 33 surah Al-Anbiya; yang berbicara tentang matahari dan bulan, malam dan siang, kemudian menggunakan kata ganti hunna yang berbentuk jamak (plural), bahwa terdapat sekian banyak matahari dan bulan di alam raya. Tetapi, adalah tidak wajar jika kita menetapkan suatu pengertian terhadap satu kata atau ayat terlepas dari konteks kata tersebut dengan redaksi ayat secara keseluruhan dan dengan konteksnya dengan ayat-ayat yang lain.

2. Konteks antara Kata atau Ayat
Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Seseorang yang tidak memperhatikan hubungan antara arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min aisama' ma'a (QS 15:22), yakni hubungan antara lawaqi' dan ma'a akan menerjemahkan dan memahami arti lawaqi' dengan "mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)". Namun, bila diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan sebab dan akibat atau hubungan kronologis yang dipahami dari huruf fa pada fa anzalna tentunya pengertian "mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi tersebut, tidak akan dibenarkan. Karena, tidak ada hubungan sebab dan akibat antara perkawinan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika pengertian itu yang dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama' ma'a", maka tentunya lanjutan ayat tadi adalah "maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya untuk dimakan manusia".

Demikian pula hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Sebelum dinyatakan bahwa ayat 88 surah Al-Naml, ... dan engkau lihat gunung-gunung itu kamu sangka tetap pada tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan ..., mengemukakan tentang "teori gerakan bumi, baik mengenai peredarannya mengelilingi matahari maupun gerakan lapisan pada perut bumi", terlebih dahulu harus dipahami konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan ayat-ayat sesudahnya dan dibuktikan bahwa keadaan yang dibicarakan adalah keadaan di bumi kita sekarang ini, bukan kelak di hari kemudian.

Ada yang menyatakan bahwa ayat 33 surah Al-Rahman telah mengisyaratkan kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar. Tapi dengan memperhatikan konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, khususnya dengan ayat 35, Kepada kamu (Jin dan Manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak akan dapat menyelamatkan diri, maka pemahamannya itu hendaknya ditinjau kembali agar ia tidak terperangkap oleh suatu kemungkinan tuduhan adanya kontradiksi antara dua ayat: ayat 33, berbicara tentang kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar, sedangkan ayat 35, menegaskan ketidakmampuannya.

Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Quran tentang masalah yang dibahas itu.

3. Sifat Penemuan Ilmiah
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al-Quran dapat berbeda-beda.

Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Quran.

Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan Al-Quran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Al-Quran --seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan.

Ayat 30 surat Al-Anbiya', yang menjelaskan bahwa langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya Al-Quran oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini tidak memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut.

Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia tidak berhak untuk mengatasnamakan Al-Quran dalam kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi ayat-ayat tersebut. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa seseorang dihalangi untuk memahami arti suatu ayat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati, maka tak ada persoalan.

Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti sab' samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika itu, dapat diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan) dan tidak pula mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain."

Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan "tafsir", tetapi lebih mirip untuk dinamai tathbiq (penerapan).

Penutup
Melihat kompleksnya permasalahan Al-Quran dan ilmu pengetahuan, dimana dibutuhkan pengetahuan bahasa dengan segala cabang-cabangnya serta pengetahuan menyangkut berbagai bidang ilmu pengetahuan yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Quran, maka sudah pada tempatnya jika pemahaman dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok atau seorang ahli dalam suatu bidang tertentu saja. Tetapi hendaknya merupakan usaha bersama dari berbagai ahli dalam berbagai bidang lain.


Baca artikel lainnya juga ya di Khazanah Islam, makasih atas kunjungannya.
Read More...

Thursday 17 October 2013

Tafsir dan Modernisasi

Leave a Comment

Tafsir Dan Modernisasi
Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal sebagai: tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya ... (QS 48:29).

Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka -melalui Kitab Suci tersebut- dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka (QS 2:213).

Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang digambarkan di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain QS 38:29), sehingga mereka dapat menemukan --melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat-- apa yang dapat mengantar mereka menuju terang benderang.

Penggalan ayat ini menggambarkan betapa masyarakat ideal tersebut terus-menerus berubah dan berkembang menuju kesempurnaannya. Kalau gambaran di atas dikaitkan dengan hakikat kemodernan yang --antara lain-- bercirikan dinamika dan perubahan terus-menerus, serta dikaitkan dengan fungsi Kitab Suci seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat berkesimpulan bahwa Al-Quran menganjurkan pembaruan atau --dalam bahasa hadis Rasulullah saw.-- tajdid, atau istilah lainnya "modernisasi" atau reaktualisasi".

Arti Tajdid atau Modernisasi
Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya tajdid, terlepas apakah mereka menilai sahih atau tidak hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah, namun --dalam pengertiannya serta pengalamannya-- telah terjadi perbedaan-perbedaan yang tidak kecil.

Busthami Muhammad Said misalnya, menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang dikemukakan oleh Sahl Al-Sha'luki (w. 387 H) sebagai "Mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada masa salaf pertama" (i'adah al-din ila ma kana 'alayhi ahd al-salaf al-shalih). Sementara itu, Ahmad ibn Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai "penyebarluasan ilmu". Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh suatu rumusan bahwa tajdid tidak lain kecuali "menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal."

Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai "usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat."

Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan Al-Quran sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Quran harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya. Sementara itu, hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti "keseluruhan" hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.

Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang dinilai "selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat." Selain itu, menafsirkan dan men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat objektif dan telah mapan dan ada pula yang sebaliknya.

Atas dasar ini, diperlukan beberapa catatan terhadap ide-ide sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun semuanya berbicara tentang tajdid atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan, dan di pihak lain ada yang melampaui batas sehingga menyerempet bahaya.

Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan Al-Maududi: "Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna Al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami Al-Quran melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw."

Pendapat Al-Maududi di atas, walaupun kelihatannya berbeda dengan pendapat Al-Syathibi (1143-1194), namun hakikatnya sama. Menurut Al-Syathibi, "Syari'at bersifat ummiyah, tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi saw."

Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah "murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat Al-Quran. 'Adi ibn Hatim, misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad (QS 2:187), dengan arti hakiki (benang). (Khazanah Islam)

Kalau pendapat Al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami Al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali 'Imran, Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat. Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah Al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran --katanya lebih jauh-- memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran Al-Quran.

Tetapi, apakah benar dalam Al-Quran terdapat "banyak" ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat di-ta'wil-kan sebagaimana cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah supra rasionalitas dalam ajaran agama (mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat di-ta'wil-kan menjadi "hukum alam" atau bisikan hati nurani, dan sebagainya)? Tidak, ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya yang sangat terbatas, yang kita pahami sebagai tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.

Pandangan tentang Modernisasi Tafsir
Berikut ini beberapa pokok pandangan yang dapat dijadikan pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir.

1. Hadis-hadis dan Pendapat-pendapat Sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi alma'tsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan Al-Quran.

Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw., demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-'aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan.

Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta'rif atau irsyad atau tashhih, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk:

(a) Hubungan padanan (tathabuq), seperti penafsiran al-shalat al-wustha dengan "shalat Ashar"; 
(b) Hubungan kelaziman (talazum) seperti penafsiran ud'uni (dalam QS 40:60) dengan "beribadat";
(c) Hubungan cakupan (tadhamun), seperti penafsiran al-akhirat (dalam QS 14:27) dengan "kubur";
(d) Hubungan percontohan (tamtsil), seperti penafsiran al-maghdhub 'alayhim (dalam surah Al-Fatihah) dengan "orang-orang Yahudi", dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain.

Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya.

Al-Qarafi membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat). Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.

Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu.

Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-'aql fih (bukan kalam wilayah nalar), maka ia fi hukm al-murfu' (bersumber dari Nabi saw.) sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak.

2. Pembedaan antara yang Qath'iy dan yang Zhanniy
Menurut Al-Syathibi, tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qath'iy dalam dalil-dalil Syari'at bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat ia berdiri sendiri.

Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan fiqih.

Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash." Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya."

Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain:

(a) Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. 
(b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetics engineering (rekayasa genetis).

Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.

Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalah al-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (berpegang kepada yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih baik).

3. Penggunaan Ta'wil dan Metafora
Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan ta'wil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata "langit menurunkan hujan."Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah SWT. Keengganan menggunakan ta'wil ini menjadikan sementara ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam QS 2: 74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah berdasarkan QS 16:68.

Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya tawil dalam berbagai bentuknya. Al-Sayuthi; misalnya, menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa. Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.

Kini, sementara orang yang menganggap dirinya sebagai pembaru dalam bidang tafsir, menggunakan pen-ta'wil-an semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya, men-tawil-kan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai larangan melakukan hubungan seksual. Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun penafsiran ini sangat menggelikan pakar bahasa.

Menurut Mustafa, redaksi firman Allah sebelum mereka mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsanna (dual), yakni jangan kamu berdua mendekati pohon ini (QS 2:35). Tetapi, setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan hubungan seksual), redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni Turunlah kamu semua dari surga ... Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian lainnya (QS 2:36). Hal ini menurutnya, adalah bahwa tadinya Adam dan Hawa hanya berdua, tetapi setelah istrinya mengandung janin maka mereka menjadi bertiga sehingga wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk jamak.

Apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan dengan teks ayat dan bertentangan pula dengan kaidah kebahasaan. Karena, bahasa tidak menjadikan janin yang dikandung sebagai wujud penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung --berapa pun bayi yang dikandungnya-- ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal.

Contoh di atas membuktikan kekeliruan pen-ta'wil-an yang dilakukan semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa pertimbangan kaidah kebahasaan.

Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap penta'wil-an:
(a) Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya; 
(b) Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.

Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan ta'wil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasi sebagian mereka --seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib. Namun bila hal ini diperturutkan tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan dalam pemikiran sementara pembaru. Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang Mutlak itu).

Tetapi, tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya tidak bertentangan dengan akal --walaupun belum dipahami hakikatnya-- maka redaksi .tersebut tidak perlu di-ta'wil-kan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.

Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti hanya menggunakan ta'wil pada ayat-ayat yang telah pernah di-ta'wil-kan oleh para pendahulu. Perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, sehingga, bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka tidak ada jalan lain kecuali menempuh pen-ta'wil-an. Hal demikian tentunya lebih baik daripada pengabaian teks, sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan Al-Quran dan ulama. Karena, bukanlah Al-Quran mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama pun telah sepakat untuk menggunakannya.

Dikutip dari:
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Read More...

Wednesday 16 October 2013

Perkembangan Metodologi Tafsir

Leave a Comment
Tafsir Al Quran

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam, makna didalamnya akan berubah ketika kita mempelajarinya sekarang dan kita kaji lagi 10 tahun mendatang. Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.42

Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

Berikut ini, akan dikemukakan selayang pandang tentang perkembangan metode penafsiran (baca juga Sejarah Perkembangan Tafsir), keistimewaan dan kelemahannya, menurut tinjauan kacamata kita yang hidup pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta era globalisasi dan informasi.

Corak dan Metodologi Tafsir
1. Corak Ma'tsur (Riwayat)
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya --setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.43

Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba' at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.

Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy Al-Qur'an,44 maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.

Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah:

(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran. 
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.

Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu. 
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.

Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena --jangankan kita di Indonesia ini-- orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.

Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya.

Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh).45 Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa "Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya".46

Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya. Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir seringkali disibukkan dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan.

Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khair al-qurun (sebaik-baik generasi),47 masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut masih cukup mantap.

Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping seleksi yang cukup ketat.

Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'y.

2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
a. Metode Tahliliy
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan mawdhu'iy.48 Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut istilah dan kategorisasinya.

Yang paling populer dari keempat metode yang disebutkan itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi'iy,49 adalah satu metode tafsir yang "Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf."

Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.

Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran.50

Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas, namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang selalu dimulai dengan kalimat "Inkuntum fi raib" atau "Inkuntum shadiqin".

Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr --ulama Syi'ah Irak itu-- yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.51 Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.

Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka-- adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.

b. Metode Mawdhu'iy
"Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah Al-Quran berbicara" atau "Biarkan ia menguraikan maksudnya") -- konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib.

Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Tafsir dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.

Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban. (Khazanah Islam)

Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia --termasuk terhadap Al-Quran-- akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini.

Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam --akidah, syari'ah, dan akhlak-- yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi.

Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?

Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India, misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala suka-dukanya.

Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.

Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis ingin menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar lain. 

1. Asbab Al-Nuzul
Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas --walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa "Al-Qur'an qadim"-- tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu.

Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-'ibrah bi khushush al-sabab la bi 'umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).

Di sini perlu kiranya dipertanyakan: "Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas di atas yang ditekankan?" Tentunya, jika demikian, maka perlu diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:

Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul pasti mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.

Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan "waktu" terjadinya --setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya-- berdasarkan kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut.

Para penganut paham al-'ibrah bi khushush al-sabab, menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu, tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.52 Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti dikemukakan di atas, ayat Al-Quran tidak turun dalam masyarakat hampa budaya dan bahwa "kenyataan mendahului/ bersamaan dengan turunnya ayat"?

Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq, al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha' kita. Tetapi, analogi Yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat."53

Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan Al-Sayyid adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi'i, yaitu "Ilhaq far'i bi ashl li ittihad al-'illah", yang pada hakikatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada.54

Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas.

2. Ta'wil
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.

Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.

Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu.

Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional (Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl Al-Sunnah".55 Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami teks-teks keagamaan.

Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat Al-Quran:

Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.

Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.

Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.

Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan kata yang di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).56 Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada."57

Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.

Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garis bawahi bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.

Catatan kaki
42 Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 77.
43 Lihat Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Dar Al-Marifah, Beirut, tp. th., Jilid II, h. 18.
44 Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961, Jilid 1, h. 142.
45 Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H, Jilid 1, h. 8.
46 Mahmud Al-Syarif, Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, Dar Ukaz, Jeddah, 1984, h. 62.
47 Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa: "Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian disusul oleh sesudahnya (tabi'in), lalu disusul lagi oleh sesudahnya, dan sesudah mereka tidak lagi dinamai generasi terbaik."
48 Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu'iy, Al-Hadharah AlArabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977, h. 23.
49 Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, Beirut, 1980, h. 10.
50 Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah Al-Qur'aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t., h. 58.
51 Muhammad Baqir Al-Shadr, op.cit., h. 12.
52 Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet. III, 1980 Jilid I h. 125.
53 Yusuf Kamil, Al-'Ashriyun Mu'tazilat Al-Yawm, Al-Wafa' Al-Mansurah, Mesir, 1985, h. 22.
54 Ridhwan Al-Sayyid, Al-Islam Al-Mu'ashir, Naz'at fi Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal, Dar .Al-'Ulum Al-Arabiyah, Beirut, 1986, h. 90.
55 Prof. Dr. Muhammad Rajab Al-Bayyumi, Khathawat Al-Tafsir Al-Bayaiy, Majma' Al-Buhuts, Kairo, 1971, h. 92.
56 Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., Jilid III, h. 95.
57 Aisyah Abdurrahman (Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 887.

Dikutip dari:
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Read More...

Tuesday 15 October 2013

Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir Al Quran

Leave a Comment
Al Quran adalah salah satu Mu'jizat yang diberikan Alloh SWT kepada Nabi muhammad SAW yang menjadi pedoman bagi kehidupan orang Islam dimanapun mereka berada.

Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.24 Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah "penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir)",25 dan bahwa "kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri."26

Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang tepat", misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa).

Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi",27 atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".28

Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw. bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar",29 penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah.30 Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur".31 Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.

Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw. sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran".32 Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran
Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran.

Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya.

Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal ini merupakan perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.

Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap orang bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut.

Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran
Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat atau keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.

Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.33

Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).

Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7).34 Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.

Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi saw.35

Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah, tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia" (QS 74:29) untuk dinisbatkan kepada Rasul saw.36

Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan."37 Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.38

Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.

Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:

(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.

Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.

(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:

(a) Subjektivitas mufasir; 
(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;

(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;

(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;

(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat;

(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.

Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa.

Perubahan Sosial
Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif (QS 48:29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (QS 10:49; 15:5, dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43; 48:23, dan lain-lain).

Perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.39

Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat bahwa "syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat pada masa turunnya.40 Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu dewasa ini.

Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima, apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola yang sama. Dan karena Al-Quran memerintahkan setiap orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini, pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran Al-Quran amat sulit diterima.

Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini bulat, maka mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan untuk kamu bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa keterhamparan yang dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan "Allah ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu". Demikian juga ketika eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" (QS 13:8), pemahaman kata "apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan, bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di sisi lain, kalimat "Allah mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang mengetahui", bila yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis kelamin janin.

Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu, pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati.

Bidang Bahasa
Perlu digarisbawahi bahwa walaupun Al-Quran menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik yang mereka kenal.41

Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh Al-Quran.

Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir, disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian.

Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.

Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari 'alaq" (QS 96:2) mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di sini seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya.

Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia kemudian terbukti keliru.

Catatan kaki
24 Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h. 59.

25 Ibid., h. 15.

26 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, t.t., jilid II, h. 35.

27 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t. jilid I, h. 29.

28 Ibid., h. 321.

29 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya.

30 Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi.

31 Ibid.

32 Al-Zahabiy, op.cit. h. 53.

33 Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid II, h. 164.

34 Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h. 3.

35 Lihat Al-Zahabiy, op.cit., h. 59.

36 Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut, 1980, h. 20.

37 Syaikh Muhammad 'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h. 139.

38 Ibid., h. 26.

39 Abu Ishaq Al-Syathibi, op. cit., jilid II, h. 300.

40 Ibid., hal. 82.

41 Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1984, h. 28.

Dikutip dari:
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Read More...